Ajariku Mengenal Nya
SEKAIPAW
Ku pandang erat wajahnya. Senyum simpulnya mengisaratkanku
untuk segera memulai episode hari ini. Aku membalas senyumnya tanda mengiyakan.
“Segeralah telingaku tidak sabar untuk menyantap hidangan lezat
dari mu” katanya padaku.
***
Najwa Shofiatul Viana
Dalmores Kristanto, itulah nama pemberian orang tua ku. Nama yang
diperoleh dari penggabungan dua keyakinan. Ibuku muslim namun tak pernah
sholat, ayahku Kristanto mengaku kristen namum tak pernah sembahyang. Abangku
Heri? aku tak tahu apa agamanya, sama sepertiku tak tahu apa agamaku. Aku tak
mengenal Tuhan. Jangankan Tuhan siapa diriku aku tak mengenalinya. Aku sempat
berfikir mungkin ini semua akibat kurangnya kasih sayang dan perhatian dari
orang tua, yang membuat ku jatuh ke jerembah kenistaan. Aku menjadi pecandu
sejak umur 14 tahun. Semua ini berawal dari kepindahanu ke Jakarta. Disana aku
mulai mengenal brutalisme, dunia malam, dan hal-hal berbau kedurjanaan. Aku
sadar bahwa aku adalah seorang wanita. Tapi aku tak menyadari apa hakekat seorang
wanita, yang terfikir dalam benak ini ialah
Yang
penting aku bahagia.
Senang
itu mahal harganya.
Inilah
hidupku biar aku yang menentukan, jangan campuri kehidupanku.
Ayah
dan bunda membiarkanku begitu saja. Tak ada setitik kepedulianpun padaku.
Hingga pada akhirnya ada seorang yang terketuk hati melihat keadaanku yang kian
hari kian tak karuan. Ia adalah Slamet. Adik ibuku. Mungkin karena namanya
itulah ia sering dijuluki “Dewa Para Kaum Pencandu” Sama sepertiku ini.
1 tahun lebih aku di rawat om Slamet
bersama puluhan jamaah pencandu lainnya di pojok utara kota Jakarta. Mulanya
ada berontak dari diri ini. Ada semacam ketidak tahanan berada di lingkungan
yang membuat telinga panas dan badan menggigil. Ada sedikit niatan ingin
kembali ke lembah durjana itu. Namun berkat cinta, kesabaran, dan kegigihan
keluarga Slamet aku berhasil diluluskan dari title pecandu barang haram tersebut. Setelah benar-benar difonis
bebas dari barang mematikan itu. Aku
memutuskan untuk pulang untuk mengabdi dan melepas rindu pada orang yang tak
pernah merasakan rindu pada ku. Aku berharap kepulangan ku kali ini dapat
merubah keadaan dan melunakkan hati bang Heri dan sepasang bidadariku. Tapi sepertinya
itu mustahil. Setibanya aku dirumah sama sekali tak merubah keadaan. Bang heri
malah semakin tak karuan, Ayah masih sama yang difikirkan hanyalah duit-duit
dan duit. Bunda? entahlah aku tak mengerti jalan fikirannya.
Usai absen hampir satu tahun lebih dari
bangku sekolah kini aku kembali menjamahnya namun tak ditempat yang sama. Aku
harus pindah dan mengulaingi dari kelas 2. SMK Negeri 1 itulah sekolah pilihanku saat ini. Ada
sepercik harapan ketika menginjakkan kaki untuk pertama kalinya ditempat ini.
Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat bagi semua orang, aku ingin mendalami
agama ku, agama islam, dan aku ingin menutupi auratku yang selama ini aku umbar
layaknya bandeng di pasar tradisional.
Satu tahun sudah aku bergelut dengan
jutaan ilmu di lingkungan baruku. Berawal dari kegiatan rutinan di SMK yaitu
TBA (Taman Baca Alquran) aku mendapatkan ketenangan jiwa melalui ayat-ayat suci
nan merdu yang dibacakan oleh sang mentor TBA. Aku tereyuh dan tak kuasa
melinangkan air mata. Pertemuan pertama aku tak berani berkata apa-apa karena
takut identitasku terkuak. Hingga pada akhirnya aku tak kuasa menahan gejolak
hati untuk segera mengungkapkan isi hati bahwa aku ingin segera belajar agama
lebih dalam. Sang mentor dengan senyum ramah menyambutku dengan peluk hangat.
“Barokallah, selamat bergabung dik, semoga
istiqomah”
Dan
dari situlah aku benar-benar terjerumus ke dalam kecintaan yang begitu dalam
akan indahnya islam.
Sore itu aku beranikan diri untuk meminta
izin kepada Bunda dan Ayah perihal keinginanku untuk berjilbab.
“Apa kamu mau berjilbab? Apa bunda ndak
salah dengar? Ealah Nduk-Nduk kowewi ra pantes nganggo jilbab, tontonen
kelakuan mu iku, apa ya pantes, apa ya memper? Masak pecandu jilbaban,
ngisin-ngisini. Udah sekolah yang bener jangan bolosan. Cukup itu aja bunda
udah seneng”.1
Perih
hati ini mendengar jawaban bunda. Ingin rasanya ku menumpahkan hujan di atas
pipi namun ku tahan. Aku tak ingin mereka semakin menertawakanku atas
kecengengan yang ku pertontonkan.
“Tak selamanya jalan ini mulus Vin, jika
kau ingin berlian yang bersinar maka kau harus mendakinya lebih dalam, dan
tentunya dalam pendakian itu kau akan menemui kerikil-kerikil kecil yang akan
menyakitimu” Kata dari mbak mentor inilah yang senantiasa menyemangatiku.
“Wealah Vin-Vin preman kok berjilbab, ya
lucu tah, malu-maluin jilbabmu, apa lagi kamu ini mantan pecandu narkoba, kelas
akut lagi. Malu aku Vin jadi kamu” tambah Bang Heri.
“Vina lebih malu jika selamanya Vina tak
mengenal Tuhan, sama kayak bang Heri”
Braaakkk.
Suara gebrakan meja memanaskan suasana. Bunda hanya terdiam.
“Kemasukan setan mana kamu ini Vin udah
berani sama abang kamu. Siapa yang mengajari kamu seperti ini, ha? Ayah
tekankan sekali lagi jangan sekali-kali kamu kotori rumah ayah dengan jilbab,
ingat itu”.
Aku
sadar dulu aku brutal, nakal, dan jauh dari Robku. Tapi itu masalalu. Apa
salahnya jika aku ingin berbenah diri menjadi wanita sholihah, dan dekat dengan
Robku? Kenapa seakan jalan ini begitu sulit untuk ku tempuh ya Rob?
Aku
terbuai oleh ribuan pertanyaan yang menari-nari di kepalaku.
Tujuh hari aku bertahan dengan ketidak
tahanan. Hingga pada akhirnya ku beranikan diri untuk menceritakan keluh
kesahku pada orang yang kupercaya. Umi salamah. Guru BP di SMK ku.
Alkhamdulillah ia meresponku dengan baik.
“Ibu senang dengan niat baikmu untuk
menutup aurat nak, semoga dengan ini kamu bisa membuka jalan untuk bapak dan
ibumu menuju ridho Allah SWT”
Sesaat
suasana hening. Umi Salamah seperti mencari sesuatu yang disembunyikan. Aku
hanya terdiam memandangi buku bacaan umi.
“Umi punya hadiah buat nak Vina, semoga
ini bisa bermanfaat buat nak Vina ya”
Sebuah
kantong plastik lengkap dengan 3 buah stel seragam baju muslim dan 3 mukena
berwarna – warni. Tak henti-hentinya ku ucapkan terimakasih pada umi sembari
menciumi tangannya. Umi Salamah hanya
tersenyum padaku dan mengusap butiran-butiran kecil yang menetesi pipiku.
Ternyata umi Salamah sudah mengetahui permasalahanku selama ini. Beliau salut
melihat perjuanganku selama ini.
Perjuangan
tuk mencari pencerahan.
Perjuangan
tuk mendapat keridhoan Sang Maha Hidup.
Dan
perjuangan untuk menjadi muslimah sejati yang takut karenaNya, bukan karena
aturan-aturan yang dibuat manusia.
***
Dia kembali tersenyum menyimak episode yang terjegal tangis.
Aku memeluknya erat. Jujur aku merasa tenang jika bersamanya. Diapun
mempersilakanku menuntaskan episode yang terjegal.
***
Esok harinya ku kenakan seragam pemberian
Umi Salamah. Cantiknya paras ini saat sebuah mukena menghiasi mahkotaku. Ku
kenakan jaket sebagai penutup seragam baruku agar ayah dan bunda tak
mencak-mencak2. Namun sepertinya Allah ingin menguji ketahanan hatiku. Belum sempat aku mengucap
salam tanda berangkat sekolah ayah menarik penutup kepalaku.
“Apa-apaan kamu ini, sudah ayah katakan
jangan kotori rumah ayah dengan barang beginian. Mau ngelawan ayah kamu ya?”
Aku
terdiam tak berkutik sedikitpun.
“Sampai kapanpun ayah tak akan izinkan
kamu memakai barang beginian”
Sakit
...perih...hati ini ...
Aku
tak kuasa lagi menahan linangan mutiara bening ini. Dadaku sesak mendapati
perlakuan yang sangat tak wajar dari seorang ayah. Tapi apa daya walaupun begitu beliau adalah
bidadariku. Dia tetap ayah yang teleh membesarkanku.
Ya
Rob ampuni ayahku, bukakanlah pintu hatinya, tunjukanlah jalan kebenaran bagi
nya. Sadarkanlah beliau berikanlah hidayahmu untuk beliau ya Rob, aamiin
Akhirnya
hari itu aku sekolah tanpa jilbab namun seragam ku panjang. Sontak pemandangan
ini menjadi bahan guyonan3 teman-teman di sekolah. Banyak yang berceloteh mulai aku aneh, gila,
hingga kampungan. Tapi ku biarkan suara-suara tak jelas itu. Aku tetap berjalan
menuju kelas. Karena aku ingat tujuan ku ke sekolah adalah untuk menuntut ilmu
bukan mencari perkara kayak dulu. Keteguhan hati ini semakin kuat karena
dukungan orang yang saat ini berada dihadapanku.
Bel tanda berakhirnya pelajaran berbunyi.
Aku pulang dengan sedikit kebahagiaan karena bisa menjalani separuh hari ku
dengan lancar. Sesampainya dirumah aku mencari jilbab pemberian umi Salamah
tempo hari. Ku acak-acak seisi kamar namun tak kutemukan jua. Ku tanya pada si
abang.
“Tadi sih abang lihat ayah masuk kamar mu
bawa kantong plastik tapi ndak tahu apa isinya”
“Lantas?”
“Ayah bakar dibelakang rumah”
Mendengar
penjelasan bang Heri aku lari kebelakang rumah. Benar saja ayah membakar
jilbab-jilbab pemberian umi Salamah itu. Entah apa maksud beliau. Aku tak tahu
mengapa ayah begitu keras melarangku untuk berjilbab. Sempat ku berfikir apa
mungkin karena ayah NONIS? Tapi apa iya setahu ku ayah begitu menghargai
perbedaan. Ku beranikan diri untuk bertanya meski sejatinya hati bergejolak.
“Ayah
sudah bilang beratus-ratus kali, ayah tak ingin ada barang beginian dirumah
ayah, apalagi anak ayah memakainya”
“Tapi mengapa yah? Kasih Vina alasan”
Ayah
terdiam. Aku terus memaksanya untuk menjawab pertanyaanku.
“Dasar anak tak tau diri, dibilang ayah
tak suka ya tak suka. Kalau memang kamu ingin makai silakan angkat kaki dari
rumah ini. Pintu rumah ini terbuka lebar untuk mengeluarkanmu”
Bagai
disambar petir mendengar jawaban ayah. Namun apa boleh buat, niatanku sudah
bulat aku ingin menutup aurat. Akhirnya siang itu juga aku angkat kaki dari
rumah mungil itu. Aku sempat melirik bunda tak ada sedikitpun tindakan untuk
mencegahku. Beliau hanya diam dan meneteskan air matanya. Mungkin takut dengan
ayah.
Pikiran melayang. Hendak kemana kaki ini
melangkah. Satu jam lebih aku berjalan menyusuri trotoar. Hingga pada akhirnya
aku memutuskan untuk kerumah umi Salamah. Sesampainya disana ku ceritakan semua
yang telah ku alami. Dan hingga detik ini aku diasuh oleh umi layaknya seorang
anak. Selama tinggal di rumah umi aku aktif dikegiatan kerohanian bersama orang
dihadapanku saat ini. Aku menjadi guru TPA dan pengurus masjid Baitul Hikmah di
SMK ku. Aku sangat menikmati kehijrahanku ini.
Minggu 12 Maret 2009 sebuah mala petaka
menyambarku...
Ketika
sedang asyik mengamalkan ilmu Allah aku dikagetkan oleh kabar bahwa ayahku
jatuh sakit dan aku harus pulang. Saat itu aku dijemput bang Jeki tetanggaku.
Usai pamit Umi salamah aku segera meluncur ke rumah. Betapa kagetnya ketika aku
mendapati sepasang tubuh terbujur kaku terbaring di atas dipan. Ayah dan Bunda
telah pergi untuk selama-lamanya karena kecelakaan beruntun ketika hendak
menjemputku. Badan lemas seperti tak bertulang.
Semenjak kepergian ayah dan bunda kini aku
hanya tinggal berdua dengan abangku. Namun sebulan sekali umi Salamah tetap membesukku.
Aku hidup dengan kesederhanan dan
dinaungi rona kedamaian serta kebahagian karena abang heri benar-benar
berubah 180 derajat. Ia telah menjadi seorang muslim sejati.
“Ya Rob inilah SEKAIPAW yang senantiasa ku
nanti-nantikan meski kabut itu menghitam?”
Aku
menatap langit dengan senyum kebahagiaan.
***
Dipenghujung penutup episode hari ini dia
mengejutkanku dengan pernyataanya “Karena sesungguhnya setelah kesusahaan itu
akan ada kebahagiaan. Bukan hanya dirimu yang telah bermertamorfosis akupun
juga. Berkat dirimu aku menjadi sekarang ini. Terimakasih telah menginspirasiku
Vina”. Tak pernah sedikitpun terlintas dalam benak ini aku menjadi inspirasi
oleh orang yang juga menginspirasiku. Mentorku. Kebahagian itu bertambah
manakala aku menemukan sepucuk surat yang khusus dipersembahkan untuk ku.
Mantan pencandu. Peluk erat kembali kurasakan di akhir episode hari ini.
Sungguh SEKAIPAW itu nyata adanya. Dan janji Allah itu selalu tepat pelangi itu
datang usai hujan.
|
Note
:
1. Apa
kamu mau berjilbab? Apa bunda tidak salah dengar? Kamu itu tidak pantas pakai
jilbab, lihatlah kelakuanmu, apa ya pantas? Masak pecandu mau pakai jilbab.
Malu-maluin. Udah sekolah yang benar jangan bolosan. Itu saja bunda sudah
senang.
2. Ngomel-ngomel
3. Tertawaan.
4. SEKAIPAW
= Semua Kan Indah Pada Waktunya
Comments
Post a Comment